Konsep dan Prinsip Integrasi Ilmu (Pandangan Ismail Raji al-Faruqi)
Ismail Raji al-Faruqi adalah seorang cendikiawan Islam yang lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Al-Faruqi merupakan pemikir Islam yang intens memadukan antara Islam—dengan esensi ajaran tauhidnya—dengan pengetahuan dan seni. Al-Faruqi menegaskan bahwa esensi pengetahuan dan kebudayaan Islam ada pada agama Islam itu sendiri.
Pada dasarnya ilmu pengetahuan digunakan untuk menjawab atau memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia sehingga dengan majunya ilmu pengetahuan, tingkat kesejahteran hidup manusia akan meningkat. Perkembangan ilmu pengetahuan pada empat dasarwarsa terakhir banyak diwarnai oleh para filosof baik Barat maupun Timur, telah menjadikan ilmu pengetahuan yang terlalu rasionalistik pada gilirannya menghampakan manusia.
Krisis ilmu pengetahuan modern ini telah sampai pada krisis landasan filososifs. Pondasi epistemologi positivisme-rasionalisme yang digunakan ilmu pengetahuan modern sebagai topangan berfikir secara lambat laun tapi pasti telah meniadakan keberadaan nilai terutama nilai agama atau menihilkan keberadaan Tuhan. Hal ini didukung dengan pernyataan bahwa ilmu yang obyektif itu bebas nilai. Dengan istilah yang lain, di tengah-tengah umat manusia sekarang ini adalah krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme, ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern di mana sekularisme menjadi mentalitas zaman dan karena itu spiritualisme menjadi suatu tema bagi kehidupan modern.
Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi, berawal dari keprihatinannya, bahwa dalam jajaran peradaban dunia dewasa ini umat Islam hampir di semua segi baik politik, ekonomi, budaya maupun pendidikan berada pada posisi bangsa paling rendah. Al-Faruqi menyebut hal ini sebagai malaise yang dihadapi umat. Menurut al-Faruqi, efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam sebagai bangsa-bangsa di anak tangga terbawah, kondisi umat yang tercabik-cabik, kurang terdidik, tidak produktif. Selain permasalahan diatas tersebut, kurangnya pendidikan, tambahnya, membuat umat Islam tidak kreatif, tidak kritis dan cenderung bersikap taklid buta pada peradaban barat.
Faktor yang melatarbelakangi semangat gagasan integrasi keilmuan al-Faruqi dengan konsep Islamisasi ilmunya, adalah kondisi yang berbeda yang dialami oleh al-Faruqi sendiri, dimana al-Faruqi dipengaruhi oleh latar belakang kondisi sosial yang tidak pernah surut didera konflik melawan Israel, sehingga ia begitu gigih berjuang untuk membebaskan bangsanya dari situasi tersebut. Hal tersebut jelas mempengaruhi cara dan metode berpikirknya dalam mencari solusi permasalahan yang dihadapi umat.
Untuk memberikan pemahaman yang memadai tentang konsep integrasi keilmuan, yang pertama-tama perlu dilakukan adalah memahami konteks munculnya ide integrasi keilmuan tersebut. Bahwa dalam pemikiran al-Faruqi sekolah-sekolah umum warisan pemerintah kolonial semakin dominan, sekuler serta terjauh dari nilai-nilai Islam. Kondisi pendidikan yang buruk lebihdisebabkan kurangnya dukungan dana dan kebijakan-kebijakan pemegang otoritas pendidikan yang sekuler, serta mempertentangkan kurikulum ilmu-ilmu modern dan ilmu agama. Tidak hanya itu, tandas al-Faruqi, pengelolaan pendidikan di dunia Islam tidak didukung visi yang jelas dan komitmen pada standar mutu, hingga gagal melahirkan Sarjana kreatif. Bersamaan dengan itu, sistem dan model pendidikan Islam yang dianggap sebagai ujung tombak kemajuan, justru mendukung dan melestarikan tradisi keilmuan Islam yang stagnan. Menurutnya, model pendidikan masyarakat Islam bisa dipolakan menjadi tiga kategori.
Pertama, Sistem pendidikan tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara sempit, sisi hukum dan ibadah mahdah, yang dalam konteks Indonesia bisa ditunjukkan pada model pendidikan salaf di pesantren.4 Kedua, sistem pendidikan yang lebih menekankan ilmu-ilmu sekular yang diadopsi secara mentah dari barat, yang dalam konteks Indonesia bisa ditunjukkan pada sistem pendidikan umum.
Kedua sistem ini menimbulkan dualisme (split) dalam kepribadian masyarakat Muslim. Alumnus pendidikan salaf (pesantren) cenderung bersikap konservatif-ekslusif dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu modern yang sebenarnya sangat diperlukan, sementara sarjana pendidikan modern cenderung bersikap sekularistik-materialistik dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu religius.
Ketiga, ada sistem konvergensif yang memadukan kedua sistem yang ada. Sistem ini, di samping memberikan materi agama juga memberikan berbagai disiplin ilmu modern yang diadopsi dari Barat. Namun, pencangkokan ini ternyata tidak dilakukan di atas dasar filosofis yang benar, tetapi semata hanya diberikan secara bersamasama, ilmu-ilmu agama dijejerkan dengan ilmu-ilmu umum.
Menurut al-Faruqi, adalah fakta bahwa apa yang dicapai sains modern, dalam berbagai aspeknya merupakan sesuatu yang sangat menakjubkan. Namun, kemajuan tersebut ternyata juga memberikan dampak lain yang tidak kalah mengkhawatirkannya. Akibat dari paradigma yang sekuler, pengetahuan modern menjadi kering, bahkan terpisah dari nilai-nilai tauhid: suatu prinsip global yang mencakup lima kesatuan, yaitu kesatuan Tuhan, kesatuan alam, kesatuan kebenaran, kesatuan hidup dan kesatuan umat manusia. Jelasnya, sains modern telah lepas atau melepaskan diri dari nilai-nilai teologis.
Berdasarkan realitas seperti itu, menurut al-Faruqi, tidak ada cara lain untuk membangkitkan Islam dan menolong nestapa dunia, kecuali dengan mengkaji kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini dan keilmuan modern Barat sekaligus, untuk kemudian mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan lil ālamīn, melalui apa yang disebut “integrasi ilmu” yang kemudian disosialisasikan lewat sistem pendidikan Islam yang integratif.
Sebagai penggagas utama ide islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi memberikan gambaran tentang bagaimana islamisasi itu dilakukan. Al-Faruqi menetapkan lima program sasaran dari rencana kerja islamisasi ilmu, yaitu:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern.
2. Penguasaan khazanah Islam.
3. Menentukan relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu.
4. Mencari cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu-ilmu modern.
5. Mengarahkan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rancana Allah SWT.
Implementasi konsep integrasi dalam pandangan Ismail Raji al-Faruqi, yakni dengan menyusun 12 langkah kerja yang secara kronologis harus ditempuh adalah:
1) Penguasaan disiplin ilmu modern
2) Survei disiplin ilmu,
3) Penguasaan khazanah Islam,
4) Penguasaan khazanah ilmiah Islam tahap analisa,
5) Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu,
Implementasi konsep integrasi dalam pandangan Ismail Raji al-Faruqi, yakni dengan menyusun 12 langkah kerja yang secara kronologis harus ditempuh adalah:
1) Penguasaan disiplin ilmu modern,
2) Survei disiplin ilmu,
3) Penguasaan khazanah Islam,
4) Penguasaan khazanah ilmiah Islam tahap analisa,
5) Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu,
6) Penilaian kritis terhadap disiplin keilmuan modern dan tingkat perkembangannya di masa kini,
7) Penilaian kritis terhadap khazanah Islam dan tingkat perkembangannya dewasa ini,
8) Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam,
9) Survei permasalahan yang dihadapi manusia,
10) Analisa sintesa kreatif dan sintesa,
11) Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam, buku-buku dasar tingkat universitas,
12) Penyebaran ilmu-ilmu yang telah diislamkan.
Implementasi kerja Ismail Raji al-Faruqi untuk islamisasi ilmu pengetahuan dengan lima sasarannya dan dua belas langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada islamisasi ilmu pengetahuan pada intinya bahwa, disiplin ilmu umum beserta metode-metode dasar, prinsip, problem, tujuan, hasil-hasil pencapaian, dan keterbatasannya harus dikaitkan kepada khasanah Islam. Begitu pula relevansi khasanah Islam yang spesifik pada masing-masing ilmu harus diturunkan secara logis dari sumbangan umum mereka.
Sumber : Arifuddin. 2015. KONSEP INTEGRASI ILMU DALAM PANDANGAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI.
Komentar
Posting Komentar