Integrasi Ilmu dan Konsep Berpikir
1. Konsep Berfikir dalam Ilmu
Definisi dan Ciri Sains
Pengetahuan semakna dengan kata knowledge yang berarti sejumlah informasi yang diperoleh manusia melalui pengamatan, pengalaman dan penalaran. Sedang ilmu (science) lebih menitikberatkan pada aspek teoritisasi dan verifikasi dari sejumlah pengetahuan yang diperoleh dan dimiliki manusia, sementara pengetahuan tidak mensyaratkan teoritisasi dan pengujian tersebut. Meskipun begitu, pengetahuan adalah menjadi landasan awal bagi lahirnya ilmu. Tanpa didahului oleh pengetahuan, ilmu tidak akan ada dan tidak mungkin ada. Dengan demikian, ilmu dalam arti science dapat dibedakan dengan ilmu dalam arti knowledge. The Liang Gie mendefinisikan ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan untuk mencari penjelasan, atau suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional-empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia. Pengetahuan ilmiah mempunyai 5 ciri pokok yaitu:
1. Empiris (berdasarkan pengamatan dan percobaan).
2. Sistematis (mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur).
3. Obyektif (bebas dari prasangka perseorangan).
4. Analitis (berusaha membedakan pokok soalnya ke dalam bagian-bagian yang terperinci).
5. Verifikatif (dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga).
Sumber Sains Islam
Ilmu Islam memiliki empat sumber yang jika digali secara ilmiah, semuanya akan melahirkan ilmu Islam, yaitu:
1. Al-Qur’an dan Sunnah
Al-Qur’an dan sunnah merupakan sumber ilmu-ilmu Islam yang di dalamnya ditemukan unsur-unsur yang dapat dikembangkan untuk membentuk keberagamaan, konsep, bahkan teori yang dapat difungsikan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi umat. Mengingat sifatnya sebagai unsur esensial, maka di dalam al-Qur’an dan sunnah beberapa ilmu sosial maupun ilmu alam hanya ditemukan unsur-unsur dasar baik dalam bentuk konsep besar atau teori besar (grand concept or grand theory). Memposisikan al-Qur’an dan sunnah sebagai grand concept or grand theory mengandung arti bahwa keduanya berkedudukan sebagai sumber ajaran, baik sebagai sumber teologis maupun etis. Sebagai sumber, al-Qur’an dan sunnah berisi konsep dasar yang melalui suatu proses sangat potensial bagi pengembangan dan pemberdayaan ilmu-ilmu Islam.
2. Alam Semesta (afaq) Al-Qur’an menganjurkan manusia untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi, lautan dan sebagainya, agar manusia mendapat manfaat ganda, yakni:
1) Menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan, dengan ini manusia akan lebih.
2) beriman dan mempunyai pedoman hidup dalam menjalankan segala aktifitasnya,
3) Memanfaatkan segala sesuatu untuk membangun dan me-makmurkan bumi di mana dia hidup.
Allah SWT telah memilih manusia sebagai khalifah di bumi dengan dibekali indra, akal, hati dan pedoman wahyu (al-Qur’an) dan penjelasannya (as-Sunnah). Manusia dengan indra dan akalnya dapat memperhatikan fenomena alam yang dapat diteliti dan diobservasi, sehingga didapati bermacam-macam informasi ilmu. Manusia dengan akal dan hatinya juga dapat mengkaji rahasia- rahasia al-Qur’an yang telah banyak menyinggung berbagai ilmu yang akan hadir di masa yang akan datang demi kemakmuran manusia.
3. Diri Manusia (Anfus)
Manusia ditakdirkan dan disetting oleh Allah agar mampu menemukan pengetahuan. Berbagai perangkat kasar dan perangkat lunak telah Allah siapkan untuk tujuan itu. Dalam Islam, akal merupakan kunci penugasan manusia sebagai khalifah di muka bumi, tanpa akal, manusia tidak dapat dibebani dengan hukum-hukum syariat. Dari diri manusia (anfus) sebagai alam mikro, akan melahirkan berbagai ilmu sosial maupun humaniora setelah dilakukan penelitian, observasi dan ekperimen baik dari aspek fisik, psikis maupun sosiologis, seperti; ilmu kedokteran, ilmu kesehatan, ilmu kebidanan, ilmu ekonomi, ilmu hayat, psikologi, sosiologi, sejarah, dan lain sebagainya. Al- Qur’an telah menginformasikan bahwa, di antara tandatanda kebesaran Allah SWT, yang akan ditampakkan kepada manusia adalah konstruksi alam semesta (afaq) dan diri manusia itu sendiri (anfus). Firman Allah yang artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru alam dan diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al- Qur’an adalah benar.” (QS. Fusshilat, (41): 53)
4. Sejarah (Qashash)
Sejarah sebagai sumber ilmu pengetahuan mengungkapkan peristiwa masa silam, baik peristiwa politik, sosial, maupun ekonomi pada suatu negara, bangsa, benua, atau dunia. Peristiwa atau kejadiam masa silam tersebut merupakan catatan yang diabadikan dalam laporan-laporan tertulis dan dalam lingkup yang luas.
Sejarah dalam sisi luarnya tidak lebih dari rekaman peristiwa atau kejadian masa lampau pada riil individu dan masyarakat, baik dalam aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, agama dan sebagainya. Sedangkan dari sisi dalamnya, sejarah merupakan suatu penalaran kritis dan cermat untuk mencari kebanaran dengan suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu. Suatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa- peristiwa itu terjadi. Sejarah mengandung arti penafsiran dari peristiwa-peristiwa setelah menguji berbagai fakta dan menyelidiki kronologi fakta tersebut. Seperti pada kritik tentang hadis, dalam pengelompokan tingkatan hadis dan metodologi pengutipannya dari kitab-kitab hadis dikembangkan untuk memeriksa kebenaran dan keaslian hadits. Hal tersebut (tatacara) sama dalam penelitian dan penilaian fakta-fakta secara objektif dan sistematis yang diterapkan dalam studi sejarah (Rahman, 1992: 126).
Dalam pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris transenden (Nurman Said, dkk, 2005: 129-133). dengan sains, yaitu:
1. Integrasi yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat al-Qur’an secara dangkal dengan temuan-temuan ilmiah. Di sinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri. Tapi ada kelemahan dari integrasi, di mana adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh antropologi.
2. Berkaitan dengan pembagian keilmuan, yaitu kauniyah (alam) dan qauliyah (firman). mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya kauniyah dan qauliyah tetapi jugaada ilmu nafsiyah. Kalau ilmu kauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauliyah berkenaan dengan hukum Tuhan, dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai dan kesadaran insani. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutikal) (Kuntowijoyo, 2005: 51).
Komentar
Posting Komentar